Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan
perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa
terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar
kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya,
hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga
terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini
hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum
inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga
unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa
konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus”
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan
suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis
dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat
sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi
masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung
digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua
metode penafsiran telah digunakan.
A. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal.
Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi
problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan
dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap
sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan
aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari
fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum
berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan
jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan
sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti
hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia
adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam
menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat
keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap
fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan
kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang
menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan
perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi
dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau
tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu
perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli
hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif
sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli
hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang
akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan
perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding.
Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada
dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama,
diantaranya yaitu :
a. Ia senantiasa harus mampu
menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan)
terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu
memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita
yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal
ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk
mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan
hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b. Seorang ahli hukum senantiasa harus
dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan
perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi
di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat
Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan
didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan
hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga
merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das
sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana
mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit
Salah satu fungsi dari hukum ialah
sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai
perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna
melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara
layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal
tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum
yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam
penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal
penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata
lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus
ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya
nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang
tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada
kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga
akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa
ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering
terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen
scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya,
kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah
atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang
kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang
tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara
tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya
undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an
sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum
akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu
penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang
jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu
penafsiran. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak
hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim
tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas.
Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak
sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur
akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam
hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji
hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan
hukum (rechtsvinding).
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”,
oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa
konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif.
Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan.
Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber
hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit.
Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih
lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu.
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan
di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang
melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan
hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap
pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :
1. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini
sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak
mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas
dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak
ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan
jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak
jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2. Perhatian dan kesadaran akan sifat
dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum,
ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal
dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi
pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
3. Munculnya suatu gejala umum, yakni
kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat
terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat
didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat
peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu
ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya
dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam
kenyataannya.
4. Kaitannya dengan gejala umum di atas,
dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang
hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang
tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena
terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat
normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang
ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan
yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas
kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan yang lain yang tentunya sangat
terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim
melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah
menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat
mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.
B. Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah
mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan
keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan
kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan
menunjukkan bahwa :
a. Adakalanya pembuat Undang-undang
sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian
pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari
satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya istilah, kata, pengertian,
kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak
jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam
kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam
masyarakat;
- Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan
itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat
menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam
rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang
sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1. Unsur sistem hukum, meliputi :
- Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
- Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.
- Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
- Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
- Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2. Pembidangan sistem hukum
- Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku).
- Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)
Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu
3. Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum
- Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian.
- Subyek hukum
- Hukum dan kewajiban
- Peristiwa hukum
- Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
- Obyek hukum
Pengertian butir diatas tidak terlepas
dari makna sebenarnya hukum yang merupakan bagian integral dari
kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka
tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun
yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak
diperlukan.
C. Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia
Indonesia dalam perspektif
keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil
law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua
sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan
di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa
hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic
Law) dan sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut
sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama
kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang
kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata
hukum nasional Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra
Amandemen) yang menyatakan : “segala badan negara dan peraturan yang
ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang
ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang
merupakan negara yang menganut sistem civil law.
Salah satu karakteristik utama dari civil
law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan
(terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan
aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka
difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di
dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu
aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu
dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan
aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang
mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.
Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam
civil law, terkadang memiliki kendala-kendala tertentu. Salah satu
kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan
perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat
selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada
suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah
dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan
masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan
ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan
menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena
tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa
memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga
jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan
bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi
dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan
aturan hukum yang mengaturnya.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka
diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum
atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun demikian dalam
konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim
pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari
kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule
adjudication function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat
undang-undang (rule making function). Sehingga diperlukan
batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim
dengan menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam
keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga
hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini,
mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari
sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut
sebagai . Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad
ke-18 – 19. Untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan
sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus
tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut pemikiran ini
menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen).
Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua,
undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi.
Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah
mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis).
Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang
biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang
menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya.
Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu
perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan kaidah dan
asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya di
dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan
perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris
kemudian ke daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris),
Amerika Serikat, Canada, Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada
perkembangannya kedua sistem hukum tersebut mengalami konvergensi
(saling mendekat), yang ditandai dengan peranan yang cukup penting suatu
peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan sebaliknya
peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa
Kontinental.
Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya ialah :
a. Peraturan perundang-undangan
merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah diketemukan kembali
dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan
tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;
b. Peraturan perundang-undangan
memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya
mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
- Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; dan
d. Pembentukan dan pengembangan
peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat
penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun
sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.
Tetapi tidak berarti pemanfaatan
peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah, adapun
masalah-masalah tersebut ialah :
a. Peraturan perundang-undangan tidak
fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan
perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan
membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat
berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi
semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam
keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai
dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan
hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan
perundangan-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai
ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat;
b. Peraturan perundang-undangan tidak
pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum
dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau
rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan
perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran
Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan
hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan
kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.
Kelemahan-kelemahan dari peraturan
perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep penemuan
hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang
menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan
penemuan hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh
ketidakmungkinan dari apa yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini
merupakan pandangan dari positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa
“tidak mungkin terdapat suatu kekosongan hukum dikarenakan jika tata
hukum tidak mewajibkan para individu kepada suatu perbuatan tertentu,
maka individu-individu tersebut adalah bebas secara hukum. sepanjang
negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan
pribadinya”. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum
sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan
(bankruptcy of justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di
tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di
masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi
dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di
dalam masyarakat.
Melihat dua pandangan yang saling
bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini adalah mungkin terjadi.
Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun konstruksi
berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan
fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang
kemudian dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum
juga terdapat di dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat
dinamis dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang
menyatakan terjadinya kekosongan hukum dapat menimbulkan kebangkrutan
keadilan titik tekannya adalah kehidupan yang selalu berkembang di dalam
masyarakat, memungkinkan hukum selalu tertinggal satu langkah di
bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh karenanya fakta
sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi antara
kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok
dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat
diselesaikan oleh hukum.
Pada konteks tersebut di atas kekosongan
hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum adalah hal yang dipastikan
dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum satu-satunya
adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang lebih
besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi
kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan
penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan
lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau
penemuan hukum (rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana
dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut :
“pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak
boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum.
Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di
perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1)
undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat
(1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman.
Namun demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim
dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep
hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam hukum common law.
Pengertian judge made law dalam
pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim memiliki peranan
di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada
kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar
membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka
dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan
hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam
suatu perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan
ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur
perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang
menyimpang dari putusan lama.
Dalam konteks tersebut sistem Eropa
Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum didasarkan pada ajaran
menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada ajaran
tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas
tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker
menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari
adat istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut
pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum dapat
ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk
manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan
perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh
karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Dan ajaran ketiga
ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih
dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks
mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan
tersebut dan membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga
rechter-koningschap.
Pada konteks hukum positif tampaknya
kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14
ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,
juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :
(1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
(2). Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat dalam pasal tersebut,
dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan
hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara.
Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan
hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut
hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum
bebas di posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia
tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut, akan
tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan
rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari
ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam
pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat identik
dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak
sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga dapat
ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek
tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil
menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.
Salah satu contoh penemuan hukum yang
menjadi preseden di dalam hukum Indonesia, misalnya dalam kasus sengkon
dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining (peninjauan
kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi
mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman
kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang
unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau
mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik
pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23
Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang
mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian
kelamin sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat
Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973 dengan pemohon ialah Iwan
Robianto Iskandar.
Penemuan hukum secara operasional
dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan
asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan
asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di
dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke
dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non
yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak
menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri
yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya
dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex
dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian
bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan
operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan
untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari
hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha
mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil
dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi
dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian
hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian
dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari
konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa prinsip di bawah ini :
1. Prinsip objektivitas : penafsiran
hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan
berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas
mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2. Prinsip kesatuan : setiap norma harus
dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari
keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya.
3. Prinsip penafsiran genetis : selama
melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan
pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya
dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari
pembuat hukum tersebut;
4. Prinsip perbandingan : prinsip ini
ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum
lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip tersebut merupakan
prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka
menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam
masyarakat dapat terjalin secara baik.