Komentar dan Dasar Hukum Mengenai Pengadilan Hak Azasi Manusia, Pengadilan Ad Hock serta Konseliasi Kebenaran dan Rekonsiliasi


A. KOMENTAR DAN DASAR-DASAR HUKUM MENGENAI PENGADILAN HAK AZASI MANUSIA
Sebagai dasar hukum mengenai pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, dimana pasal 1 poin 3 dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pengadilan Hak Azasi Manusia merupakan pengadilan khusus yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
  1. Membunuh anggota kelompok
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompik
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagaiannya;
  4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan keanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
  1. Pembunuhan
  2. pemusnahan
  3. Perbudakan
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
  6. Penyiksaan
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
  8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
  9. Penghilangan orang secara paksa
  10. Kejahatan apartheid.
Komentar mengenai pengadilan Hak Azasi Manusia, saya berpendapat bahwa hal itu sangat sekali diperlukan karena dengan begitu diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang mendambakan penegakan hak-hak asasinya.
Terlebih lagi bagi Bansa Indonesia yang dalam UUD 1945 meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, namun sudah memuat ketentuan tentang penghormatan beberapa HAM yang sangat penting, seperti hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama pembukaan), hak atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)), hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga negara (Pasal 28), hak setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (pasal 19 ayat (2)), dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31).
Pengadilan Hak Azasi Manusia sebagai lembaga yang membela hak asasi manusia di Indonesia, keberadaan pengadilan HAM sendiri sangat urgen dan relevan saat ini. Sebab, di tengah euforia kebebasan pada masa reformasi sekarang ini, pelanggaran dan penindasan atas hak asasi orang lain justru banyak terjadi. Di tengah kemiskinan rakyat akibat krisis ekonomi dan krisis multidimensi lainnya, pengisapan manusia yang kuat atas manusia lainnya yang lemah tetap merajalela. Ironisnya, eksplisit atau implisit itu dilakukan justru dengan alasan kebebasan.
Namun, dalam tataran praktik harus kita akui, kebijakan politik dan pembangunan di seluruh aspek kehidupan bangsa ini telah menempatkan hak-hak asasi manusia menjadi simbol tak bermakna ketika harus berhadapan dengan kepentingan “pembangunan” dan “stabilitas”. Pihak yang seringkali menjadi korban adalah kelompok warga negara miskin, perempuan dan anak, dan juga kelompok minoritas. Hal tersebut yang menjadikan perlu dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia, dengan begitu jelas mempertegas komitmen bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia dan membawa dampak bagi penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, adanya pengadilan Hak Azasi Manusia tersebut haruslah membawa dampak positif terhadap upaya penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
B. KOMENTAR DAN DASAR-DASAR PENGADILAN HAM AD HOCK
Dasar hukum mengenai pengadilan Hak Azasi Manusia  Ad hock terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, yaitu pasal 43 dan pasal 44, yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 43
(1)   Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2)   Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3)   Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Suatu komentar tentang pelaksanaan pengadilan Ad Hock di Indonesia merupakan sesuatu adanya kemajuan, satu kasus yang cukup penting bagi bangsa Indonesia dalam menegakan hak-hak asasi manusia adalah dengan dilaksanakannya atas pelanggar hak-hak asasi manusia di Jakarta dan atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Timor Timur. Hal ini menunjukan kepada masyarakat internasional bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen atas penegakan hak-hak asasi manusia. Memang pelaksanaan Pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Timor Timur tersebut penuh dengan kepentingan kepentingan politik, disatu pihak pelaksanaan pengadilan Ad Hoc terssebut atas desakan PBB yang taruhannya adalah nasib dan kredibilitas bangsa Indonesia dimata internasional dan dilain pihak perbenturan kepentingan antara penegakan hak-hak asasi manusia dengan kepentingan nasional serta nasionalisme sebagai bangsa Indonesia yang dalam kenyataannya mereka-mereka yang dituduh telah melanggar HAM berat di Timor Timur pada hakikatnya berjuang demi kepentingan bangsa dan negara.
Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya bagi kita merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi atas jaminan serta penegakan atas Hak Asasi Manusia (HAM).
C. KOMENTAR DAN DASAR-DASAR HUKUM MENGENAI KONSILIASI KEBENARAN DAN REKONSILIASI (KKR).
Di Indonesia, proses pembentukan KKR dimandatkan melalui TAP MPR No.VI tahun 2000 tentang Persatuan Nasional yang merekomendasikan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi. Mandat ini juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undag No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani oleh KKR.
Pada tahun 2004, muncul Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang KKR yang menjadi landasan pembentukan KKR. Undang-undang ini mempunyai mandat untuk pengungkapan kebenaran, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan rekonsiliasi serta mempunyai wilayah yurisdiksi seluruh wilayah Indonesia.
Namun oleh para ahli undang-undang tersebut dinilai banyak cacat, bahkan KKR dinilai gagal memenuhi kewajiban negara untuk menghormati hak-hak korban, keluarga dan masyarakat berdasarkan hukum internasional. Seperti halnya apa yang terdapat dalam pasal 27 UU KKR tersebut, di mana kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban diberikan hanya bila permintaan amnesti diberikan. Mengenai hal inipun, penulis berpendapat kurang setuju dengan isi yang terdapat dalam pasal tersebut, karena didasarkan pada alasan bahwa sebenarnya rehabilitasi dan kompensasi bisa tidak diberikan ketika pelaku tidak teridentifikasi, atau tidak berhasil mendapat amnesty, atau tidak dimaafkan oleh korban, maupun ketika pelaku tidak diberi amnesti oleh Presiden dan DPR.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Prof Douglass yang menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, tidak semua kejahatan dapat diberikan amnesti, tetapi ada batasan untuk itu.
Terlepas dari semua itu, perlu sekali ditegaskan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bukan substitusi dari pengadilan Hak Azasi Manusia, ia bisa bergandengan dengan pengadilan Hak Azasi Manusia. Jadi dengan kata lain hubungan antara keduanya adalah komplementer.
Akan sangat berguna bagi Indonesia bila banyak pihak menyadari bahwa KKR salah satu ikhtiar melangkah ke gerbang rekonsiliasi dan penghormatan Hak Azasi Manusia. KKR, bagaimanapun, haruslah berbarengan dengan perbaikan-perbaikan sistem hukum, politik, dan militer, yang pada gilirannya mengurangi pelanggaran berat Hak Azasi Manusia ke depan.
Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.